Senin, 28 Juni 2010

ETIMOLOGI UANG

0 komentar

Bahasa plesetan mungkin sudah menjadi keseharian sebagian dari kita, terutama kaum muda. Namun sadarkah kita kaidah memplesetkan makna maupun lafadz bahasa itu ternyata juga terjadi di dunia mata uang. Nurman Kholis - Staf Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama- menulis bahwa menurut Jack Weatherford dalam The History of Money, kata "money" berasal dari suku kata "moneta". Yaitu nama seorang penguasa Romawi, Juno Moneta yang membimbing bermacam aktivitas negara, termasuk aktivitas utama menerbitkan uang. Pada tahun 269 SM, bangsa Romawi memperkenalkan koin baru yang dibuat di kuil Juno Moneta, bergambar Moneta dan keluarganya. Dari kata ini muncul kata-kata Inggris mint (mencetak uang) dan money (uang).
Kata-kata seinduk dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya juga berasal dari moneta, termasuk kata Spanyol moneda, yang berarti koin. Seringnya peleburan dan pemberlakuan koin menjadikan percetakan di Kuil Juno nyaris tak pernah berhenti beroperasi, tidak peduli pasokan emas dan perak meningkat atau tidak. Koin-koin itu mengalir dari percetakan dalam arus konstan, dan dari kata lain curere, yang artinya "berlari" atau "mengalir", itulah kata modern currency berasal.
Dengan demikian, pada mulanya kata "money" digunakan untuk menyebut alat tukar terbuat dari emas dan perak yang bergambar Moneta. Kedua koin ini tentu memiliki daya beli yang berbeda. Koin emas (dinar) untuk membeli barang mahal seperti kambing dan koin perak (dirham) untuk barang murah seperti ayam. Di samping itu, juga ada alat tukar selain dari emas dan perak, yaitu tembaga, besi, dan sebagainya untuk alat tukar bagi barang-barang yang lebih murah.
Istilah "dolar" pun mengalami perubahan makna. Kata ini berasal dari bahasa Yunani "thaler" yang berarti ukuran nilai. Kongres Amerika dulu mendefinisikan 1 dolar sebagai kumpulan pecahan-pecahan kecil emas yang banyak jumlahnya. Kesalahan pemaknaan juga terjadi pada kata uang dan duit. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Baku karangan Budiono, uang berasal dari kata "wang" yang berarti alat pembayaran terbuat dari emas sedangkan duit terbuat dari tembaga.
Hingga saat ini dalam bahasa Malaysia masih tetap digunakan kata "wang" bukan "uang" sebagaimana dalam bahasa Indonesia. Namun, setelah hilangnya uang emas dan uang perak karena diganti uang kertas, kata "uang" dan "duit" berubah penggunaannya menjadi sebutan untuk semua alat tukar. Di samping itu, kata "uang" juga naik derajat karena digunakan untuk menyebut alat tukar secara formal, sebaliknya kata "duit" turun derajat karena digunakan dalam bahasa pergaulan.
Kata "wang" kemungkinan besar berasal dari nama Wang An-shi (1076) yang pernah mengatasi masalah keuangan kerajaan di Cina. Jadi, uang terbuat dari emas yang berasal dari China pada zaman Wang An-shi kemungkinan besar pernah beredar di Nusantara. Adapun duit berasal uang Rata Penuhdari tembaga "doit" yang beredar pada masa penjajahan Belanda. Selain emas dan tembaga, di Nusantara juga beredar alat tukar terbuat dari perak. Oleh karena itu, hingga kini kita suka menambahkan kata "perak" saat menyebut nilai uang. Hal ini seperti dalam ucapan "seribu perak" meskipun uang bernilai Rp. 1000 tersebut dibuat dari selembar kertas.
Perubahan pemaknaan kata untuk alat tukar juga terjadi dalam literatur berbahasa Arab. Hal ini seperti penggunaan kata nuqud dan fulus. Dalam literatur-literatur klasik (kitab kuning), nuqud (jamak dari kata naqd) digunakan untuk menyebut alat tukar terbuat dari emas (dinar) atau perak (dirham) sedangkan fulus (jamak dari kata fals) digunakan untuk menyebut alat tukar selain terbuat dari emas dan perak seperti tembaga, besi, dan sebagainya. Namun, kini sebagaian besar umat Islam khususnya yang berbahasa Arab tidak dapat membedakan penggunaan kata naqd (nuqud) dan fals (fulus).
Kesalahan ini salah satunya dapat dilihat pada lembaran uang kertas Real Arab Saudi. Di dalamnya tercantum lembaga yang mengeluarkan uang kertas tersebut, yaitu "Muassassatu an-Naqd al-Arabi as-Su'udi", bukan "Muassassatu al-Fals al-Arabi as-Su'udi" meskipun lembaran real ini jelas-jelas dari kertas bukan dari emas atau perak. Perbedaan makna Nuqud dan Fulus hingga kini masih dipertahankan dalam kamus Arab-Indonesia. Hal ini seperti dalam Kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir.
Di dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa an-Naqdani: adz-dzahab wa al-fidlah (emas dan perak), "aflasa = lam yabqa lahu mal (menjadi tidak punya uang/harta)", fulus as-samaki (sisik ikan), al-muflis (orang yang bangkrut). Sedangkan Abu Louis Ma'luf dalam al-Munjid fi-al-lughah wa al-a'lam menulis Al-Falsu (jamaknya Fulus): qith'atun madlrubatun min an-Nuhas (potongan yang dicetak dari tembaga), ad-dinar: dlorbun min qodim an-Nuqud ad-dzahabiyah (cetakan dari logam kuno yang terbuat dari emas), ad-dirham: qith'atun min fidhatin madlrubatun lil mu'amalah (potongan dari perak yang dicetak untuk transaksi jual beli).
Dengan demikian, ilmu ekonomi membuat milyaran manusia "mabuk" sehingga tidak menyadari makna kata-kata yang diucapkannya. Oleh karena itu, prinsip "dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya" dalam ilmu ekonomi adalah takhayul, pertukaran kertas-kertas "dollar" dan sebagainya dengan sekian kekayaan alam di bumi ini adalah "bid'ah", dan keyakinan bahwa bank akan melenyapkan riba yang berlipat ganda adalah "khurafat" yang diciptakan kaum Zionis Yahudi.

0 komentar:

Posting Komentar